Pembentukan Peraturan Daerah Syari’ah dalam Perspektif Hukum Tata Negara Pascareformasi

  • Erfina Fuadatul Khilmi Fakultas Syariah dan Hukum, IAIN Jember

Abstract

Indonesia in the aftermath of Reformation, the relationship between powers of central and local governments has shifted the paradigm in which the power of central government has been transferred from centralized-authoritarian to decentralized-autonomy. One of decentralized powers of local government is by providing the power to self-regulate without certain interventions from central government, including the initiative to establish bylaws (Peraturan Daerah) as the results of local autonomy.  In further development of autonomy, however, the wider decentralization and autonomy attached to local governments has been responded differently. One of such responses is the establishment of sharia bylaws in which they result in problems in the Indonesian constitutional law system. From constitutional views, bylaws in local governments other than Aceh province violate citizen’s constitutional rights by which those are not accomodated in the hierarcy of national regulations. On the other hand, however, the establishment of sharia bylaw is important as an attempt to nurture social morality. Accordingly, there should not be abandonment regarding the establishment of sharia bylaws in several local governments other than Aceh province. But, the reaffirmation is needed relating to the position of sharia bylaws in the constitutional perspective which is not only seen formally, but also materially.


Keywords: Post-Reformation, Decentralization, Shari’a Bylaws, Constitutional Law

References

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2010), hlm 222.
  • Kewenangan Pemerintahan daerah dalam merumuskan dan menyusun Perda pasca reformasi lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat sendiri dan aspirasi rakyat setempat sesuai dengan kondisi, potensi, karakteristik yang dimilikinya. Hal tersebut menjadi faktor yang strategis dan penting dalam proses pembentukan perda karena akan menjadi lebih responsif kepada tuntutan warganya, dan akan lebih efektif dalam pemberlakuannya dengan didukung oleh sistem dan mekanisme akuntabilitas, transparan, terbuka dan pelibatan masyarakat secara aktif. Tentunya, pelaksanaan otonomi nyata atau otonomi riil yang demikian ini lebih sulit dibandingkan dengan yang serba seragam. Lihat selengkapnya dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2002), hlm. 13.

  • Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 290-291.

  • Perda syariah dalam tulisan ini dimaknai sebagai peraturan daerah yang materinya diambil dari ketentuan-ketentuan legal syariat Islam, baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.  Dalam dinamika perkembangannya, Perda Syariah dapat dikategorikan ke dalam 4 kategori, yaitu: (a) Perda yang terkait isu moralitas, yang juga diatur oleh agama lainnya, seperti Perda tentang larangan berjudi, prostitusi, dan mengkonsumsi minuman alkohol; (b) Perda yang terkait fashion dan mode pakaian, seperti keharusan memakai jilbab dan baju muslimah; (c) Perda terkait keterampilan beragama, seperti keharusan pandai baca tulis Al-quran; (d) Perda yang menyangkut persoalan dana social dari  masyarakat, seperti pengelolaan zakat, infaq,dan sadaqah Lihat selengkapnya dalam  Warijo, Politik Belah Bambu Jokowi: Dari Mafia Politik Sampai Islamfobia, (Medan:Puspantara,2015), hlm. 13-14.

  • Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

  • Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (perda) yang dinilai bermasalah. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan dari 3.143 itu, tidak ada perda syariat Islam yang termasuk dibatalkan. Rata-rata yang dibatalkan adalah perda-perda itu dinilai menyulitkan proses perizinan sehingga memperlambat laju perekonomian daerah seperti, urusan ekonomi, investasi dan perizinan. Sedangkan, Perda syariah tidak dibatalkan. Lihat dalam Roy Jordan, Mendagri: Tidak Ada Penghapusan Perda Syariat Islam https://news.detik.com/berita/3234905/mendagri-tidak-ada-penghapusan-perda-syariat-Islam, diakses Kamis 16 Juni 2016, Pukul 13.57 WIB.

  • Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2010), hlm. 15.

  • Bagir Manan, supra note 2 hlm. 13.

  • Berdasarkan Pasal 65 ayat (2) UU No. 23/2014 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang: (a) mengajukan rancangan Perda; (b) menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; (c) menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; (d) mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat; dan (e) melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Nukila Evanty, dkk, Paham Peraturan Daerah (Perda) Berperspektif HAM (hak asasi manusia), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet I, 2014), hlm. 93.

  •  Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet.6 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 29.

  • Yudi Latif, Negara Paripurna historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia, Cet.5, 2015), hlm. 83.

  • Setelah reformasi bergulir, terdapat upaya untuk memasukkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta. Hal ini ter­bukti di akhir masa sidang tahunan MPR 2002, sejumlah partai politik Islam, seperti PPP dan PBB secara tegas menuntut dimasukannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Upaya tersebut mengalami kegagalan karena kurangnya dukungan politik MPR maupun dukungan sosiologis dari masyarakat. Akibat kegagalan pada tingkat nasional untuk menjadikan konstitusi negara berdasar syari’at Islam membuat beberapa kalangan akhirnya beralih ke daerah Lihat selengkapnya dalam jurnal Denny Indrayana, Kompleksitas peraturan daerah bernuansa syari’at prespektif hukum tata negara, (tidak ada kota : Jurnal Yustisia Edisi 81 September-Desember 2010), hlm. 98.

  • Ibid, hlm. 95.

  • Syahrizal Abbas, “Pelaksanaan syariat Islam di aceh dalam kerangka hukum nasional”. Dalam Syahrizal dkk. Dimensi Pemikiran Hukum dalam implementasi syariat Islam di aceh (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,2007), hlm. 9.

  • Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Bagian Kedua (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 2 Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah), hlm. 3.

  • Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Peurlak (Aceh Timur saat ini) dan menggambarkan bahwa kotatersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada tahun 1292 dan kerajaan Islam pertama di Indonesia didirikan di Aceh, hal ini dibuktikan dengan penemuan batu nisan Raja Samudra Sultan Malik as-Salih yang tercatat pada tahun 1927. Menurut Ricklefs penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia berada di Aceh. Lihat selengkapnya Arskal Salim, “Shari’a From Below’ In Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity and the Right to Self-Determination with Comparative (The Moro Islamic Liberation”, Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No. 92, March 2004 Front (Milf)), hlm. 83.

  • Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm 288-289

  • Bagir Manan, supra note 2 hlm. 39.

  • Dalam konsep hukum, pengawasan represif tersebut dikenal dengan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat umum. Terdapat 3 kategori besar pengujian peraturan perundang-undangan, yaitu (1) pengujian oleh badan peradilan (judicial review); (2) Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan (3) Pengujian oleh pejabat atau badan administratif negara (administrative review). Lihat Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm. 79.

  • Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) bersama 45 Pemkab. Mahkamah menyatakan aturan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana dilansir oleh Agus Sahbani, Catat!!! Kini Pembatalan Perda Kabupaten/Kota Wewenang MA, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58e5f4f15b574/catat-kini-pembatalan-perda-kabupaten-kota-wewenang-ma, diakses  hari kamis, 06 April 2017.

  • Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 76.

  • Pasal 7 ayat (1) UU No.12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

  • Johanna Poerba, Razia Jilbab, Tes Keperawanan dan Perda Diskriminatif: Kekonyolan Yang Tak Bisa Dibiarkan dalam https://www.jurnalperempuan.org/blog-muda1/razia-jilbab-tes-keperawanan-dan-perda-diskriminatif-kekonyolan-yang-tak-bisa-dibiarkan, diakses 23-2-2015.

  • John Rawls tentang utilitarianisme hukum mengemukakan bahwa hukum sebagai salah satu unsur yang mengatur susunan dasar masyarakat harus berdasarkan dua prinsip, yaitu: Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi tiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atas kesempatan. Prinsip perbedaan (the difference principle) adalah perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung, Sedang prinsip persamaan atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) adalah yang menunjuk kesempatan yang sama bagi semua orang (termasuk mereka yang paling kurang beruntung) untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Lihat selengkapnya dalam teori hukum. Lihat selengkapanya dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 86-87.

  • Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 133.

  • Indikator terakhir keberhasilan pembangunan suatu bangsa adalah ukuran keadilan sosial dan kesinambungan. Masuknya faktor keadilan sosial dalam tolok ukur pembangunan bukan hanya berdasarkan pertimbangan moral belaka, tetapi digunakan untuk pelestarian pembangunan itu sendiri. Hal ini karena jika terjadi kesenjangan yang besar antara orang-orang kaya dan miskin, maka masyarakat yang bersangkutan akan rawan secara politis. Bila terjadi pergolakan sosial yang ditimbulkan dari kesenjangan ini, maka hasil pembangunan yang sudah dilakukan tentu akan sulit dicapai.Lihat selengapnya dalam Irawan dan Suparmoko, Ekonomika Pembangunan, (Yogyakarta: BPFE, 1992), hlm. 25.

  • Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 27.
  • Published
    2018-05-07
    How to Cite
    KHILMI, Erfina Fuadatul. Pembentukan Peraturan Daerah Syari’ah dalam Perspektif Hukum Tata Negara Pascareformasi. Lentera Hukum, [S.l.], v. 5, n. 1, p. 43-58, may 2018. ISSN 2621-3710. Available at: <https://jurnal.unej.ac.id/index.php/ejlh/article/view/7263>. Date accessed: 05 nov. 2024. doi: https://doi.org/10.19184/ejlh.v5i1.7263.
    Section
    Articles

    Most read articles by the same author(s)

    Obs.: This plugin requires at least one statistics/report plugin to be enabled. If your statistics plugins provide more than one metric then please also select a main metric on the admin's site settings page and/or on the journal manager's settings pages.