Pemberdayaan Majelis Gereja Untuk Pencegahan HIV dan AIDS Di Amanatun Utara Nusa Tenggara Timur
Abstract
Kasus HIV dan AIDS saat ini tidak saja ditemukan di populasi kunci, tetapi juga sudah di populasi umum seperti ibu rumah tangga di pedesaan. Tingginya migrasi penduduk desa untuk mencari kerja di luar daerah merupakan salah satu faktor risiko terjadi penularan HIV. Masyarakat desa pada umumnya masih mempercayai tokoh rohani seperti majelis gereja dalam menyampaikan pesan kesehatan. Untuk itu pengabdian ini bertujuan untuk memberdayakan majelis gereja untuk memberikan dukungan pencegahan HIV di masyarakat. Metode pelaksanaan yaitu dengan pelatihan disertai pre dan pos tes serta praktek keterampilan dukungan pencegahan HIV. Pada akhirnya majelis diminta untuk membuat rencana kerja selama 1 bulan setelah pelatihan kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi. Hasil dari pengabdian ini adalah terjadi peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS, penularan, pencegahan dan pengobatannya. Selain itu keterampilan dukungan pencegahan HIV juga meningkat. Majelis juga melakukan seluruh rencana kerja yaitu memberikan dukungan pencegahan HIV minimal pada tiga orang yang berpotensi tertular HIV seperti bekas TKI atau pekerja di luar daerah. Kesimpulan dari pengabdian ini yaitu perlu memberdayakan seluruh komponen desa untuk melakukan upaya pencegahan HIV dan AIDS di seluruh lapisan masyarakat desa dengan tingkat migrasi penduduk cukup tinggi.
Kata kunci: pemberdayaan, majelis, HIV dan AIDS
HIV and AIDS cases are currently not only found in key populations but also in the general population, such as rural housewives. The high migration of villagers to look for work outside their current areas is one of the risk factors for HIV transmission. The village community in general still believes in spiritual figures, such as church assemblies, in delivering health messages. For this purpose, the service aims to empower church assemblies to provide HIV prevention support in the community. The method of implementation is by training with pre and test posts as well as practice with HIV prevention support skills. In the end, the assembly was asked to make a work plan for one month after the training and then carried out monitoring and evaluation. The result of this service is an increased in knowledge about HIV and AIDS, transmission, prevention, and treatment. In addition, HIV prevention support skills have also increased. The assembly also carried out all work plans, including providing minimum HIV prevention support to three people who have the potential to contract HIV such as former migrant workers or workers outside the area. The conclusion of this service is the need to empower all village components to make efforts to prevent HIV and AIDS in all levels of the village community with high levels of population migration.
Keywords: empowerment, assembly, HIV and AIDS
References
Brodsky, E.A., Cattaneo, L.B. (2013) A Trans Conceptual Model of Empowerment and Resilience: Divergence, Convergence and Interactions in Kindred Community Concepts. American Journal of Community Psychology, Vol. 52, No. 3-4, pp. 333–346.
Brugge, D., Edgar, T., George, K., Heung, J., Laws, M. (2009) Beyond Literacy and Numeracy in Patient Provider Communication: Focus Group Suggest Roles for Empowerment, Provider Attitude and Language. BMC Public Health, Vol. 9, No. 354, pp.1-11.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, (2017) Laporan Kementrian Kesehatan Triwulan IV, 2016 http://www.aidsindonesia.or.id/list/7/Laporan-Menkes
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi NTT,(2018) Laporan Tahunan KPA Provinsi NTT. Kupang
Manurung, 2017. Modul pelatihan pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Kupang
Phan, L. (2016) Measuring Women’s Empowerment at Household Level Using DHS Data of Four Southeast Asian Countries. Social Indicators Research, Vol. 126, No. 1, pp. 359-378.
Sinode GMIT, 2017. Laporan Pelayanan Sinode GMIT, Kupang.