Rekonseptualisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Analisis Relevansi Hukuman Pidana Mati di Masa Pandemi Covid-19
Abstract
Penerapan hukuman mati terhadap koruptor di masa Pandemi Covid-19 menuai pro kontra di masyarakat. Argumentasi kontra hukuman mati menyatakan bahwa sanksi pidana mati tidak sesuai dengan hak hidup yang merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak ia lahir. Dalam menerapkan hak asasi manusia, keseimbangan antara hak dan kewajiban dibutuhkan. Hal ini bertentangan dengan adanya sanksi pidana mati terhadap koruptor yang telah diatur dalam konstitusi Negara Indonesia, tepatnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sanksi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup individu yang seharusnya dilindungi oleh Negara. Bukankah sanksi pidana mati yang dilegitimasi ini menunjukkan bahwasanya terjadi disharmoni antar undang-undang yang ada di Indonesia. Pasalnya, hak hidup juga diatur dalam undang-undang, tepatnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis relevansi penerapan hukuman mati terhadap koruptor saat Pandemi Covid-19 melalui perspektif hak asasi manusia. Metode yang digunakan dari tulisan ini adalah metode doctrinal dan penelitian yang berorientasi pembaruan dengan cara mengkaji bahan hukum primer yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan merumuskan ide maupun gagasan pembaruan undang-undang dilihat dari kekurangan dan relevansi undang-undang tindak pidana korupsi terhadap hak asasi manusia sehingga dapat dirumuskan mengenai rekonseptualisasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar sesuai dengan kepastian hukum, kemanfaatan serta keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.