Rekonstruksi Perspektif Hak Asasi Manusia terhadap Penjatuhan Pidana Mati Tindak Pidana Korupsi dalam 'Keadaan Tertentu'
Abstract
Tindak pidana korupsi tergolong sebagai extraordinary crime, sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan extraordinary instrument. Pidana mati sebagai extraordinary instrument tercantum dalam klausul Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa pasal 2 ayat 2 tersebut menjelaskan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan pada korupsi yang dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’. Walaupun belum pernah ada putusan demikian, hal tersebut tentunya menciptakan pertentangan norma, yang menimbulkan berbagai miskonsepsi tafsir dan penerapan hukum atas Pidana Mati dalam UU Tipikor. Tujuan utama daripada penelitian ini adalah untuk memberikan konstruksi yang jelas dan komprehensif terkait tafsir HAM yang tepat untuk penerapan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pisau analisis yang digunakan dalam meneliti rumusan masalah diatas menggunakan metode Penelitian Hukum (legal research). Penulis dalam hal ini menggunakan pendekatan peraturan perundang- undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, konstruksi pemikiran HAM yang tepat atas Pidana Mati UU Tipikor adalah; (1) Pidana Mati dalam UU Tipikor adalah upaya negara melalui sarana penal untuk menciptakan keadilan (retributive justice); (2) Pidana Mati Korupsi dalam ‘Keadaan Tertentu’ merupakan perlindungan HAM masyarakat terdampak krisis nasional serta pemenuhan rasa keadilan (sense of justice) bagi warga negara.